Detail Berita
Baca berita Yayasan Swastisari
Menelusuri Budaya Sekolah para Suster Fransiskan di Graz-Austria

Di masa liburan musim panas 2025 ini, saya mendapat kesempatan dari Keuskupan Graz untuk belajar bahasa Jerman di Austria, tepatnya di kota Graz. Kota ini terkenal karena Bangunan Tua dari masa abad pertengahan yang tetap dilestarikan dan masuk daftar perlindungan UNESCO. Berkaitan dengan pendidikan, kota ini memiliki sebuah Universitas Teknik ternama di seantero Eropa. Nikola Tesla adalah salah satu pelajar di masa itu, di Graz. Jika kita ingat arus bolak-balik atau AC, maka ilmuan keturunanKroasia-Austria inilah penemunya. Selain dia, masih banyak orang hebat lainnya dari kota ini. Kota ini menjadi tujuan banyak pelajar dari berbagai penjuru dunia. Ada kurang lebih 60.000 pelajar kategori Mahasiswa di kota ini. Sedangkan di kelas menengah, kejuruan dan dasar tidak saja anak anak Graz, tetapi bersekolah juga anak-anak dari Slovenia, Kroasia, Hongaria dan lainnya. Alasan paling mendasar kenapa Graz jadi tempat pilihan, yah karena iklim pendidikan yang nyaman di kota terbesar kedua negara Austria ini. Suasana kota yang tenang dan ramah anak, sarana transportasi murah untuk pelajar, perpustakaan hampir di setiap sudut kota, smart city dengan teknologi wifi hampir di semua jalan boleh dibilang sangat mendukung pendidikan berkualitas.
Karena terdorong rasa penasaran seperti apa suasana kelas anak-anak di kota Graz, saya mendapat undangan dari Suster Ruth, Saudari kandung Pater Frans Lackner untuk mengunjungi salah satu sekolah terbaik di Graz dan Austria yang dikelola oleh mereka, para Suster Fransiskan. Nama sekolahnya GRAZER Schulschwestern FRANZISKANERINNEN atau dalam bahasa Indonesia, Sekolah yang dikelola para Suster Fransiskan Graz. Sekolah ini dalam pemahaman kita di Indonesia boleh dibilang, sekolah satu atap atau satu yayasan, kurang lebih. Alasannya, di kompleks ada Taman Kanak-Kanan, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah dan Sekolah Menengah Atas Swasta. Saya kutip sebelumnya misi atau konsep para Suster Fransiskan ini ketika mulai mendirikan sekolah: “Landasan karya kami adalah pandangan Kristiani tentang Tuhan dan kemanusiaan sebagaimana diungkapkan oleh Santo Fransiskus dan pendiri kami M. Franziska Antonia Lampel. Poin penting kami yakni, anak-anak dan remaja menjadi pusat perhatian. Kami inginkan sebuah sekolah yang terjangkau, memupuk suasana kekeluargaan yang memungkinkan setiap siswa berkembang. Kami menghargai pendidikan yang solid dan berorientasi pada masa depan, serta pengembangan pribadi yang berlandaskan nilai-nilai Kristiani. Kami selalu berada bersama orang tua dan mengharapkan dukungan serta kerja sama dari orang tua.
Kami memberikan kontribusi sosial-politik yang signifikan dengan mengajarkan siswa kami nilai tanggung jawab dan komitmen terhadap orang lain dan ciptaan.
Dasar atau konsep sekolah mereka ini diwujudkan dalam berbagai hal positif, misalnya orang tua wajib mengantar anak anak TKK sampai di depan pintu kelas, wajib jam sekolah intensif dari pukul 7.45 sampai dengan 15.00 dengan makan siang di sekolah. Guru guru kelas mulai SD harus bergelar akademik di bidang Pendidikan S2 atau Magister Pendidikan, halaman sekolah dibagi menjadi halaman olah raga, halaman bermain, kebun bertani, dan masih banyak lagi. Hal yang membuat saya merasa tertarik adalah konsep membangun kelas anak-anak SD 1-3. Setiap anak memiliki perlengkapan sekolah sama persis seperti di rumah. Ada sepatu, sandal, baju, botol air minum, tas, jaket. Setiap anak menaruhnya di rak masing masing-masing yang tertulis nama mereka. Menurut Suster pengajar, untuk anak anak SD kelas 1-3 sering lebih banyak materi permainan dan pentas. Sebab itu yang lebih akan mudah diingat. Mereka punya tempat bermain dan pentas di dalam dan luar ruangn. Di dalam ruangan ada bermacam-macam alat dan panggung pentas. Di luar ruangan ada lapangan olahraga untuk anak anak dan arena bermain yang dibuat menyerupai praktik pramuka outbound. Anak-anak dipisahkan ke dalam grup lalu dilatih membuat pentas atau drama kecil yang nanti dinilai guru dan teman-teman lain. Panggung mereka sangat kecil menyerupai tribun mini. Tetapi cukup menghipnotis penonton dan mendebarkan pemanggung.
Hal lain, karena keseringan anak anak kecil lupa barang milik mereka yang harus dibawa pulang atau dimasukkan ke dalam lemari milik di sekolah, maka sekolah menyiapkan satu ruang yang diberi nama bahasa Jermannya Fund Gegenstande, dalam bahasa Indonesia, barang barang yang ditemukan. Di gantungan pakaian misalnya, ada jaket, sweter topi, buku, pensil warna, bahkan juga bola. Ruangan ini dibuat, menurut Suster, supaya anak anak belajar bertanggung jawab atas apa yang seharusnya dijaga, jangan buang-buang, “verschwende nicht”, kata Suster Ruth.
Soal makan siang, anak anak di sini tidak diberikan menu yang sama. Setiap anak terlebih dahulu diteliti cara makan, jenis makanan dan waktu makan. Kebiasaan seperti apa mereka di rumah. Dari situlah para suster menyiapkan satu dapur umum, satu ruang makan dan benerapa orang chef terampil (berpakaian seperti di restoran). Makanan harganya terjangkau karena memadukan juga makanan lokal dan disesuaikan dengan apa yang anak anak sukai di rumah. Makanan ini tidak dibayar terpisah tetapi sudah terhitung dalam biaya sekolah bulanan. Menurut Suster mereka hanya membantu memindahkan makanan dari rumah ke sekolah, bukan memindahkan selera.
Hal menarik lainnya adalah dua guru pengasuh untuk satu kelas. Setiap guru pamong punya asisten yang juga bergelar master. Asisten membantu guru utama terkait pola belajar dan psikis anak anak juga hal hal lain yang berkaitan langsung dengan urusan orang tua dan rumah. Sehingga anak anak benar benar diterima dan dipahami sepenuhnya dalam belajar di sekolah.
Selain itu, saat saya berada di kompleks sekolah ternyata masih banyak anak yang bersama orang tuanya menghabiskan waktu sore setelah sekolah, di halaman bermain. Jadi pihak sekolah tidak menutup pintu gerbang sekolah di waktu pagi sampai sore. Kesempatan ini sering dimanfaatkan oleh anak anak yang tidak memiliki halaman bermain sendiri atau yang tidak memiliki teman bermain di rumah. Sekolah dijadikan seperti rumah sendiri bagi mereka.
Tentang kebun sekolah, ini menarik. Anak anak dan guru di sini umumnya sudah bertaraf hidup sejahtera. Namun spiritualitas Santo Fransiskus tetap dipraktikkan dengan mencintai pekerjaan tangan. Di waktu jalan jalan saya sekitar kebun sayur, ternyata banyak sekali tanaman labu, jagung, brokoli, tomat dan sebagainya.
Bagian paling akhir, adalah kesatuan doa dan belajar. Gereja berada tepat di sebelah sekolah. Anak anak tidak saja belajar, tetapi juga berdoa, membantu pelayanan altar dan belajar musik gereja.
Semoga sharing sederhana ini membantu kita melihat keunikan di sekolah kita, lebih-lebih dalam diri anak anak kita. Mempelajari lingkungan, keluarga dan perkembangan mereka bisa menjadi satu cara untuk menemukan solusi yang tepat, apa sebenarnya harapan anak anak untuk masa depannya. Semua hal baik sudah kita lakukan di sekolah kita. Meningkatkannya dengan konsep dasar mendidik anak anak akan menambah satu langkah maju lebih cepat. Semoga.
Januario
Tim Redaksi Yayasan Swastisari
Berita Terbaru


Sutradara Pembelajaran di Lembah Sunyi Oekabiti
08 Oct 2025


Kuatkan Identitas, Wujudkan Lulusan Utuh
30 Sep 2025
Pengumuman Terbaru
Belum ada pengumuman
Profil

Yayasan Swastisari
Keuskupan Agung Kupang
08.00-13.30 (Jumat-Sabtu)
1,239
Karyawan
15,000
Siswa
84
Sekolah